Hari Pers Nasional Dan Fenomena Jurnalis Abal Abal

0 628

Surabaya, LenzaNasional.com – Hari pers nasional diselenggarakan setiap tahun secara bergantian. Pada 2019, Surabaya menjadi tuan rumah untuk rapat dan peringatan Hari Pers Nasional selanjutnya dengan tema ‘Penguatan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Digital’.

HPN diselenggarakan setiap tahun pada tanggal 9 Februari bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), ditetapkan dengan Keputusan Presiden RI No. 5 tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Januari 1985.

Hari Pers Nasional (HPN) diperingati tanggal 9 Februari setiap tahun. Namun, pemilihan tanggal itu bukan tanpa alasan karena ada cerita sejarah di baliknya.

sejarah pers nasional Indonesia mempunyai kisah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila. Itu sebabnya ide adanya HPN mengemuka hingga akhirnya muncul beleid penetapan oleh Presiden Soeharto, 34 tahun silam.

Awal mula penetapan HPN ini bisa ditelisik dari salah satu butir keputusan kongres ke-28 PWI yang dilaksanakan di Kota Padang, Sumatera Barat, pada tahun 1978. Dalam Kongres tersebut dibahas tentang hari pers nasional, akhirnya tercetus dari keinginan tokoh-tokoh pers untuk memperingati kehadiran dan perannya dalam lingkup nasional.

Keinginan adanya HPN makin kuat setelah dalam Sidang Dewan Pers ke-21 yang diselenggarakan di Bandung pada tahun 1981, Dewan Pers mengajukan hari pers nasional untuk diperingati setiap tahun.

Proses adanya hari pers nasional ini memang panjang. Namun hasilnya tidak sia-sia, akhirnya pada 9 Februari ditetapkan secara resmi oleh pemerintah sebagai hari pers nasional. Saat itu Indonesia dalam era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto.

Tak hanya itu, 9 Februari juga bertepatan dengan hari jadi PWI yang dibentuk pada tahun 1946 di Kota Solo.

Jurnalis Abal – Abal

Ada fenomena yang menarik, dari rangkaian HPN 2019 yang dipusatkan di Kota Surabaya, Dewan Pers ternyata punya perhatian terhadap fenomena maraknya wartawan “abal-abal”. Menurut Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, kawanan ini kerap memeras dan lekat dengan praktek korupsi.

“Ada wartawan abal-abal yang bikin LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan minta uang kepada kepala desa untuk mendapatkan 5 persen dari alokasi dana desa,” kata pria yang kerap disapa Stanley itu.

Di mana saja mereka, seperti apa modus mereka, berikut penjelasan Stanley yang dilansir dari  Tempo.co.

Selain kekerasan terhadap wartawan, apa saja yang menjadi perhatian Dewan Pers mendatang?

Kami juga concern pada munculnya media dan wartawan abal-abal, karena praktek abal-abal ini sudah melekat dengan praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di daerah-daerah. Bahkan kami bisa melihat ada wartawan abal-abal yang bikin LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan minta uang kepada kepala desa untuk mendapatkan 5 persen dari alokasi dana desa. Ini berbahaya, karena akan menimbulkan biaya kemahalan bagi pembangunan. Akibatnya, sasaran pembangunan malah menjadi tidak tepat guna.

“Saya pernah ke Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, yang penduduknya hanya 270 ribu jiwa tapi medianya ada 500. Sebagian besarnya media online. Dan dari hasil diskusi dengan mereka, tidak pernah ada yang membaca kode etik jurnalistik. Tapi mereka memburu SKPD (satuan kerja perangkat daerah) setiap hari, sehingga pemerintah daerah meminta Dewan Pers datang ke sana dan memberi pendidikan wartawan”.

Sejak kapan kondisi itu berlangsung?

Rupanya sudah bertahun-tahun. Tapi kami baru saja berhasil mengidentifikasi beberapa tempat, seperti di Jawa dan Nusa Tenggara Barat. Dua tahun ini baru berjalan pendidikan literasi kepada SKPD, guru, camat, dan lurah mengenai dunia media untuk mengatasi persoalan media abal-abal ini.

Terhadap fenomena yang merugikan masyarakat seperti ini, apakah Dewan Pers bisa menerapkan tangan besi menutup mereka satu per satu?

Main tutup saja tidak bisa. Harus berkoordinasi dengan polisi, dan nanti Dewan Pers bisa menunjuk seorang ahli. Lalu di pengadilan bisa dijelaskan. Ada beberapa wartawan yang sudah dijerat secara hukum karena kebetulan saya menjadi saksi ahli.

Kalau dipetakan, di mana yang paling banyak muncul wartawan abal-abal ini?

Yang paling banyak muncul adalah daerah yang tingkat korupsinya tinggi. Fenomena media abal-abal ini tidak kami temukan di Malaysia atau Singapura, yang tingkat korupsinya rendah. Ini khas di Indonesia. Wartawan dan media abal-abal akan tumbuh subur di daerah kubangan lumpur. Di daerah bersih, tidak ada. Pengaduan yang paling banyak itu dari Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. (LN/Red)

Comments
Loading...

This site is protected by wp-copyrightpro.com