LenzaNasional.com – Presiden Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi, ternyata pernah belajar ngaji secara privat kepada nguru ngaji lulusan Institut Agama Islam Ibrahimy dan Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Situbondo.
Adalah Mudhakir pemuda yang baru lulus mondok pada tahun 1999 di Situbondo, Jawa Timur, mendapat kesempatan menjadi guru ngaji privatnya Jokowi.
Berikut kisahnya yang ditulis ulang dengan gaya bertutur dari penulis aslinya Mudhakir.
Setelah lulus dari Ma’had Aly dan Institut Agama Islam Ibrahimy Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo pada tahun 1999, saya aktif berorganisasi bersama sahabat-sahabat Ansor dan Pagar Nusa PAC Mantingan, Ngawi, kurang lebih 1,5 tahun.
Di akhir tahun 2000 saya dan beberapa sahabat Pagar Nusa Mantingan diminta untuk melatih di Karanganyar, tepatnya di halaman Kantor Pengurus Cabang NU Kabupaten Karanganyar. Hingga suatu saat ketika saya membaca iklan lowongan di Solo Pos, ada lowongan guru ngaji Al-Qur’an di Lembaga Pendidikan Al-Qur’an Budi Cendekia, yang dipimpin Mas Rahmat.
Kantor lembaga ini berada di perumahan Mojosongo. Saya masuk menjadi salah satu pengajar setelah lulus tes seleksi di Masjid perumahan Fajar Indah Solo.
Lembaga ini menyediakan guru – guru ngaji bagi tiap orang dengan berbagai tingkatan umur yang ingin belajar membaca Al-Qur’an dengan mendatangi rumah-rumah mereka.
Pak Jokowi dan putra ragilnya, Kaesang adalah salah satu peserta privat diantara peserta- peserta lainnya, misalnya keluarga Pak Nanang (Perumahan Fajar Indah), Bu Darmawan (Pasar Legi), Pak Widodo (Perumahan Songgo Langit), Pak H. Endro (Gentan Baki), Pak Agung (Gentan), dan Pak Kusuma (Solo baru).
Dalam belajar ngaji, buku dan metode yang digunakan yaitu Iqra’. Saat mengajar privat inilah saya dan istri (saat itu berstatus pengantin baru), dengan “Bismillaah” dan tekad kuat setelah seminggu dari resepsi pernikahan, hijrah dan tinggal di rumah kosong milik Masjid Al-Azhar Perumahan Songgolangit Gentan Baki, sekaligus bertugas sebagai “tukang Adzan”, “tukang Nyapu”, tukang Ngepel”, serta aktif bersama para jamaah dan remaja masjid untuk mengadakan kegiatan kegiatan keagamaan.
Saya tidak ingat jadwal privat di rumah Pak Jokowi tiap hari apa dan jam berapa. Yang saya ingat waktu untuk belajar ngaji pak Jokowi terkadang pagi, sebelum beliau memulai aktifitas kesehariannya. Sedangkan jadwal ngaji Kaesang biasanya di sore hari. Dalam seminggu 2 kali.
Berikut beberapa hal yang saya ingat dari perjumpaan saya dengan beliau saat belajar ngaji Al-Qur’an.
Saat awal bertemu di rumahnya untuk perkenalan dan mengawali ngaji, satu ungkapan yang saya ingat dari beliau, ”Kulo niki nggih tiyang saking ndeso, dhadhos ampun sah perkewuh, pak!”.
Beliau mengawali belajar ngaji dari alif ba’ ta’ (dari dasar/awal), dan pembelajaran berlangsung sebagaimana biasanya, seperti halnya peserta peserta lain.
Terkadang karena kesibukan, jadwal ngaji jadi berubah. Sedangkan Kaesang, karena usia yang masih kecil dan semangat ngajinya “naik turun”, Ibu Iriana harus membujuknya agar bersedia ngaji.
Saya tidak pernah melihat sikap kasar atau marah darinya. Bu Iriana, beliau orangnya santun, ramah dan “kalem”.
Saat datang ke rumahnya dan menunggu di teras rumah, saya melihat banyak “sawang” (sarang laba-laba) di langit teras rumah, lalu saya bertanya pada pembantunya (saya lupa namanya), ”Sawangipun kok kathah lan boten diresiki, pak ?”
Jawabnya, ”Niku tranah kersane Bapak, boten usah diresiki”.
Sebuah gambaran kesederhanaan.
Beberapa kali memberi “bisyarah” tambahan dari biaya privat semestinya. Biaya privat ngaji saat itu (tahun 2001), tiap pertemuan Rp. 5.000,-. Alhamdulillaah, cukup ! Terima kasih untuk istriku tercinta, Ani Syarifatun Hasanah yang selalu merasa cukup dengan seberapapun yang Allah berikan.
Suatu saat beliau pernah memberi oleh oleh korek api Zippo dari Jerman setelah eksport mebel/furniture ke sana, saya berkata, ”Kulo boten ngrokok niku, pak!”
Jawabnya, ”Boten nopo-nopo, ditampi mawon!”
Saya tidak tahu lagi korek api Zippo itu saat ini berada di mana, yang saya ingat dulu saya berikan ke ayah saya.
Saya pernah bekerja di PT. Tiga Serangkai sebagai editor Bahasa arab dan kegiatan privat ngaji setelah jam 17.00 WIB (setelah pulang kerja). Lalu, di tahun 2002 saya ikut tes CPNS untuk formasi guru Bahasa Arab di Madrasah Tsanawiyah Negeri Bendosari, dan lulus, Alhamdulillaah. Kegiatan privat ngaji di Solo saya tinggalkan.
Saya pamitan dengan semua peserta privat untuk menetap di Bendosari Sukoharjo, dekat dengan madrasah tersebut serta berkhidmah untuk NU, “nderek dhawuh” Kyai As’ad Syamsul Arifin dan KH. Hasyim Asy’ary, Kyai Khalid Umar Temboro, Gus Uzairon Temboro, Kyai Fawaid As’ad Syamsul Arifin, Kyai Hariri Abdul ‘Adhim, Kyai Afifuddin Muhajir (Ma’had Aly), serta guru guru kami semuanya. Allaahu yarhamuhum, aamiin.
Setelah menjadi Walikota Surakarta, atas anjuran salah satu tetangga saya yang bekerja di Balai Kota Surakarta saya pernah berusaha untuk bertemu dengan beliau. Saya ingat saat itu saya mengajak istri dan anak saya sambil jalan jalan ke Solo bakda Isya’ menuju ke Loji Gandrung, oleh penjaganya disampaikan bahwa Pak Jokowi tidak ada di rumah dinas.
Setelah itu saya hanya berusaha “nyambung” dengan doa yang –InsyaAllah- akan selalu saya panjatkan sampai kapanpun, bukan hanya untuk beliau saja tapi untuk para peserta prifat ngaji yang saya yakin menjadi salah satu sebab Allah memberi anugerah dan rizki untuk kami sekeluarga.
Doa saya, ” Ya Allah, semoga Engkau melimpahkan keberkahan, keselamatan, kebahagiaan, kesehatan lahir dan batin, kesembuhan dari berbagai penyakit, keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah, anak keturunan yang solih dan solihah, untuk kami sekeluarga, orang tua kami, saudara saudara kami, orang orang yang berbuat baik dan menjadi sebab Engkau berikan rizki kepada kami, keluarga besar madrasah kami, tetangga tetangga kami, orang orang yang ikut membantu pembangunan Masjid Baitul Karim (perumahan kami), dan muslimin dan muslimat!’ Semoga maqbul dan mustajab, aamiin.
Di saat Halal bi Halal Kebangsaan pada ‘Idul fithri tahun lalu, saya dapat bertegur sapa dengan beliau dan pertanyaan yang sangat saya ingat saat itu, ”Sak niki ten pundi njenengan ?”
Saya jawab, ”Ten Sukoharjo, pak? ”
Setelah kurang lebih 16 tahun tidak bertemu, beliau masih ingat. Seandainya suatu ketika bertemu, saya hanya ingin menyampaikan terima kasih.
Dengan para peserta privat yang lainpun hingga saat ini saya masih terus berusaha menjaga silaturahmi.
Saat fitnah-fitnah menerpa Pak Jokowi, misalnya PKI, non muslim, dll, saya sampaikan ke sahabat-sahabat jamaah melalui kajian rutin (yang saya “didhawuhi” untuk mengasuhnya), informasi apa adanya sesuai yang saya alami saat menemani beliau belajar ngaji.
Saya tidak memiliki firasat atau perkiraan sama sekali bahwa pak Jokowi akan menjadi Walikota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, bahkan Presiden RI karena yang saya tahu saat itu beliau sepertinya tidak memiliki ambisi kekuasaan/hubburriyaasah.
Beberapa bulan yang lalu, Pak Mukti Ali (penulis buku), datang ke rumah saya diantar Pak Muhammad Hitiraludin/Pak Nino atas info dari Pak Khomsun Nur Arif (Ketua PCNU Sukoharjo) untuk wawancara terkait buku tentang keberagamaan Jokowi yang akan disusunnya.
Semoga lekas bisa terbit dan membawa berkah dan manfaat. Aamiin
Semoga manfaat ! aamiin yaa rabbal ‘aalamiin. (Red/Tri)
Biodata :
Nama lengkap : Mudhakir
Tempat, Tgl Lahir : Ngawi, 29 September 1976
Orang tua : Kumaidi – Suratmi
Alamat rumah : Perumahan Graha Harmoni 1 C.14 Bulakrejo Kec. Sukoharjo Kab. Sukoharjo
Istri : Ani Syarifatun Hasanah
Anak : Dina Amalia, Luthfy Khoiruzzady, Dzakiya Ainun Najiha
Pendidikan
Madrasah Ibtidaiyah Kedung harjo Mantingan
Madrasah Tsanawiyah Negeri Kedungharjo Mantingan
Madrasah Aliyah Al-Fatah Temboro Magetan
Institut Agama Islam Ibrahimy dan Ma’had Aly Pon. Pes. Salafiyyah Syafi’iyyah Situbondo
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pengurus LBMNU, PSNU Pagar Nusa, dan IPSI Sukoharjo