Guru Besar UIN Jakarta Beri Catatan Kritis Terkait Hakim Agung
JAKARTA, Lenzanasional – Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Muhammad M Said menyebut bahwa keadilan adalah hak asasi setiap warga negara yang tidak boleh dikekang oleh kekuasaan, status sosial, atau kekuatan ekonomi.
Menurut dia, menghalangi akses terhadap keadilan adalah bentuk penjajahan modern yang bertentangan dengan semangat konstitusi UUD 1945.
“Dalam sistem hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum, hakim agung ditempatkan sebagai benteng terakhir keadilan, pemutus perkara akhir, dan simbol keyakinan publik terhadap negara hukum,” tulis Prof Said dalam keterangan tertulisnya, seperti dikutip Sabtu (31/5/2025).
Namun menurut dia, simbol tersebut kini goyah. Hal itu ditandai penangkapan seorang hakim agung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan suap.
“Hal ini menimbulkan pertanyaan eksistensial, masihkah kita bisa percaya pada Yang Mulia?”, tanya dia reflektif.
Prof Said menegaskan, sebagai aktor tertinggi dalam struktur peradilan, runtuhnya integritas Mahkamah Agung menjadi sinyal bahwa sistem keadilan sedang berada dalam krisis. Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada akhir 2023 mencatat turunnya kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung dari 68% (2020) menjadi hanya 42%.
“Peran hakim agung tidak sebatas fungsi kasasi dan pengawasan, melainkan juga penjaga keadilan substantif. Dalam perspektif moral, hukum yang adil lahir dari integritas dan nurani,” tutur dia.
Mengutip The Bangalore Principles, lanjut Prof Said, ada enam prinsip yang harus menjadi karakter hakim yakni independensi, ketidakberpihakan, integritas, kesopanan, kesetaraan, dan kompetensi.
Maka, ketika prinsip-prinsip itu diabaikan, muncul ruang bagi praktik transaksional yang meruntuhkan marwah peradilan sekaligus menghantam pilar ekonomi.
“Ketidakpastian hukum adalah ancaman serius bagi investor. Dunia usaha tidak hanya mencari keuntungan, tetapi juga stabilitas hukum,” harap Prof. Muhammad.
“Investor asing dan domestik sangat sensitif terhadap iklim hukum yang dapat dibeli. Hilangnya kepastian berusaha membuat mereka menarik investasi ke negara yang memiliki sistem hukum bersih. Penurunan arus investasi asing langsung (FDI) adalah konsekuensi logis dari krisis ini,” sambung dia.
Meski begitu Prof Said masih percaya, tidak semua hakim busuk. Masih ada hakim yang tetap menjunjung tinggi keadilan, berintegritas, dan berjuang diam-diam menjaga kehormatan profesinya.
“Kita perlu melindungi para penegak hukum yang bekerja dengan nurani dan menegakkan hukum dengan rasa takut kepada Tuhan, bukan pada kekuasaan atau uang,” ajak dia.
Reformasi Lembaga Peradilan
Prof Said mengajak, demi memulihkan kepercayaan publik, reformasi lembaga peradilan harus mencakup dimensi spiritual, moral, dan sistemik.
Secara spiritual dibutuhkan kesadaran personal dan kolektif bahwa setiap hakim adalah “image Dei” citra Tuhan di bumi yang ditugaskan membela kebenaran karena nurani, bukan tekanan kekuasaan.
Secara moral, perlu dibangkitkan kesadaran transendental bahwa penyimpangan dari keadilan akan menjadi bumerang moral yaitu kemuliaan bagi yang tulus, dan kehinaan bagi yang menjual hukum.
Sedangkan secara sistemik, penting disadari bahwa perilaku suap tidak hanya berdampak pada beban pidana, tetapi juga dampak sosial yang berat seperti bullying dialami anak-istri yang seringkali jauh lebih menyakitkan dibanding vonis hukum.
“Reformasi sistem harus diperkuat dengan digitalisasi proses hukum, e-court, dan pelacakan dana perkara untuk mencegah ruang transaksional. Penguatan perlindungan bagi whistleblower juga penting sebagai bagian dari pengawasan internal yang membangun kredibilitas.
Tidak kalah penting adalah kesadaran menyelaraskan reformasi hukum dan agenda ekonomi, agar hukum menjadi fondasi pertumbuhan investasi, pembangunan ekonomi dan hukum yang berkeadilan,” pungkasnya. (Red)