Di HUT ke-11 Kadin Institute, Ketua DPD RI Sampaikan Alasan Indonesia Butuh Pengusaha Baru

0 144

SURABAYA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengatakan penumbuhan wirausaha muda harus dilakukan. Jika tidak, jumlah pengusaha Indonesia akan tertinggal.

Hal itu disampaikan LaNyalla saat HUT ke-11 Kadin Institute dengan tema ‘Komitmen Bersama Melalui Vokasi Mewujudkan SDM Unggul dan Berdaya Saing’, di Graha Kadin Jatim, Sabtu (21/5/2022).

Hadir pada kesempatan itu Gubernur Jatim yang diwakili Kepala Dinas Perindag Drajat Irawan, Ketua Umum Kadin Jatim Adik Dwi Putranto, Direktur Kadin Institute Nurul Indah Susanti, Presiden Direktur PT Maspion Group Alim Markus, Kepala BNSP Kunjung Derajat, Wali Kota Kediri Abdullah Abu Bakar, Bupati Gresik Fandi Akhmad, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jatim Budi Hanoto, Perwakilan PT HM Sampoerna Puguh, sejumlah perwakilan dari universitas di Jatim dan sejumlah tamu undangan lainnya.

Sebagai pendiri Kadin Institute pada 11 tahun lalu, LaNyalla mengaku yang ada di benaknya adalah berupaya sekuat mungkin untuk mempercepat lahirnya pengusaha baru di Indonesia, terutama di Jawa Timur. Sebab, jumlah pengusaha di Indonesia masih tertinggal dibanding negara-negara tetangga di Asia Tenggara.

“Saat itu, jumlah pengusaha di Indonesia masih di kisaran 3 persen dari total jumlah penduduk. Sementara Malaysia dan Thailand sudah di kisaran 4 persen. Sedangkan Singapura sudah mencapai angka 8 persen lebih,” papar LaNyalla.

Berangkat dari fakta tersebut, Senator asal Jawa Timur itu ingin membuat dapur atau workshop yang menggodok kelahiran calon-calon pengusaha baru melalui Kadin Institute.

Dalam perkembangannya, LaNyalla menyebut Kadin Institute menjadi salah satu pusat pengembangan dan pendidikan vokasi.

“Bahkan menjadi proxy bagi Kadin-Kadin Provinsi lainnya di Indonesia, selain Kadin kabupaten/kota di Jawa Timur,” papar LaNyalla.

Saat ini, Kadin Jatim telah mendirikan Rumah Kurasi untuk UMKM. Hal itu amat bermanfaat untuk menghadapi ledakan populasi jumlah penduduk usia produktif. Ledakan tersebut, kata LaNyalla, akan mulai kita rasakan di tahun 2030 nanti hingga puncaknya di tahun 2045, tepat saat Indonesia berusia 1 abad.

“Pemerintah menyebut ledakan jumlah penduduk usia produktif tersebut dengan sebutan bonus demografi,” urainya.

Namun LaNyalla mengingatkan agar hal tersebut dikelola dengan baik. Sebab jika tidak, bukan bonus demografi, malah yang terjadi sebaliknya yakni bencana demografi.

Dikatakannya, melimpahnya usia produktif bisa menjadi peluang, karena dapat menggenjot pertumbuhan sekaligus pemerataan perekonomian negara. Tetapi sebaliknya, jika besarnya usia produktif tidak dibarengi dengan tersedianya lapangan pekerjaan, maka hal itu justru akan berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran dan permasalahan sosial lainnya, salah satunya meningkatnya angka kemiskinan.

“Oleh karenanya, ledakan usia produktif itu harus dibarengi dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal. Jika tidak, maka akan menghasilkan pengangguran massal dan menjadi beban negara,” tutur LaNyalla.

Pada titik itu, LaNyalla menilai pentingnya pendidikan vokasi. Namun, pendidikan vokasi saja tak cukup. Sebab, pendidikan vokasi adalah menyiapkan kondisi link and match antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dan industri.

“Masih ada variabel yang tidak kalah penting, yaitu iklim dunia usaha dan dunia industri itu sendiri. Kalau sektor manufaktur di Indonesia atau khususnya Jatim melemah, tentu tenaga terdidik terampil juga tidak terserap,” ujarnya.

Apalagi, sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia masih menempati urutan ke-10 ranking nilai tambah industri manufaktur.

“Masih di bawah China, Amerika, Jepang, Jerman, India dan Korea Selatan serta Italia, Perancis dan Brazil,” terang LaNyalla.

Sementara untuk iklim dunia usaha terbaik, masih didominasi negara-negara di Eropa, dengan Jerman sebagai pemimpin. Sedangkan di luar Eropa, masih tetap didominasi Amerika Serikat dan Jepang.

“Artinya, peluang output dari program pendidikan vokasi, tidak hanya diarahkan untuk kebutuhan dalam negari, tetapi juga harus diorientasikan untuk menjadi tenaga terampil di luar negeri,” beber LaNyalla.

LaNyalla yang baru kembali dari kunjungan kerja ke Arab Saudi, mengatakan terbuka peluang sekitar 8 juta tenaga terampil dan profesional untuk bekerja di Arab Saudi, dan diutamakan tenaga kerja Muslim. “Ini tentu peluang bagi Indonesia,” tegas LaNyalla.

Sebab, orientasi tenaga kerja ke luar negeri sudah dilakukan oleh negara-
negara dengan jumlah penduduk besar, seperti Amerika Serikat, China
dan India.

“Mereka sudah lebih dulu menyiapkan tenaga kerjanya untuk ekspansi ke luar negaranya. Di Indonesia, tidak terhitung banyaknya tenaga profesional dari negara-negara tersebut. Bahkan China sekarang sudah memasukkan tenaga non-profesional melalui program-program turn key project mereka di beberapa negara, di Asia dan Afrika,” imbuhnya.

Selain hal itu, yang perlu menjadi perhatian semua pihak adalah orientasi Indonesia ke depan harus jelas.

“Kita akan menjadi negara dengan kekuatan atau positioning di mana.
Saya meyakini, Indonesia akan menjadi negara yang kuat dan menjadi sentral dunia, apabila kita mengoptimalkan keunggulan komparatif yang kita miliki, yakni sektor pangan yang terdiri dari
pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan,” katanya.

Lalu juga keanekaragaman hayati hutan dan pariwisata, selain sumber daya alam mineral dan gas yang akan menjadi kekuatan ekonomi bangsa ini.

Oleh karenanya, LaNyalla menilai Indonesia masa depan harus menjadi
negara yang menjadi dan menjamin harapan hidup penduduk bumi,
melalui lumbung pangan dan air, serta oksigen untuk paru-paru dunia.

“Road-map ini tentu membutuhkan leadership yang kuat dan berani
untuk melakukan koreksi atas arah kebijakan ekonomi nasional.
Melakukan koreksi atas mazhab ekonomi yang kita anut selama ini,” demikian LaNyalla.(mk)

Comments
Loading...

This site is protected by wp-copyrightpro.com