Dukung Industri Tekstil Dalam Negeri, Pemerintahan Diminta Perketat Produk Impor
JAKARTA Lenzanasional – Pasar produk tekstil dan garmen domestik kini menghadapi ancaman serius di tengah membanjirnya produk impor. Sayangnya, melimpahnya stok barang impor ini tidak dibarengi dengan kenaikan daya beli masyarakat.
Jika pemerintah tidak segera mengambil kebijakan untuk menahan laju impor tekstil dan pakaian jadi, terutama dari China, ancaman pemutusan hubungan kerja massal di industri tekstil domestik akan semakin besar.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi The Institute for Development of Economics and Finance (IINDEF), Andry Satrio Nugroho, mengatakan bahwa industri tekstil dalam negeri berkontribusi sebesar 0,9 persen terhadap perekonomian nasional. Namun, menurutnya, industri tekstil mulai tergeser oleh sektor industri logam dasar, seperti nikel, tembaga, dan bauksit, yang dalam empat tahun terakhir mengalami pertumbuhan pesat. Sementara itu, industri tekstil cenderung menurun.
“Industri padat karya yang dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, urutan pertama adalah industri tekstil, diikuti oleh industri makanan dan minuman, serta industri otomotif. Semakin banyak produk impor yang masuk, semakin besar pula dampaknya terhadap industri tekstil dalam negeri,” ujar Andry baru-baru ini.
Andry juga mengungkapkan bahwa akibat dibukanya kran impor tekstil dan pakaian jadi dari China, banyak industri tekstil dalam negeri yang terpuruk. Hal ini berdampak pada meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kini mencapai 10 persen.
“Meski pemerintah melalui BPS merilis bahwa angka pengangguran terbuka menurun, namun menurut catatan INDEF, angka setengah menganggur justru mengalami kenaikan, dari 6 persen menjadi 8 persen,” jelas Andry.
Terkait kebijakan impor, Andry menyarankan pemerintah untuk merevisi Permendag Nomor 8, sehingga impor harus mengikuti prinsip supply and demand. Ia juga mengusulkan agar Satgas Impor Kemendag dinaikkan ke level yang lebih tinggi, dari pejabat setingkat dirjen menjadi menteri, dan sebaiknya Satgas Impor berada langsung di bawah presiden dengan payung hukum melalui Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres).
“Satgas Impor yang ada saat ini kurang memiliki sumber daya yang memadai untuk melakukan investigasi terhadap produk-produk yang masuk ke Indonesia. Satgas tersebut juga perlu berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk membongkar praktik mafia impor,” tambah Andry.
Selain itu, Andry menyarankan agar Kemendag memiliki instrumen untuk menginvestigasi apakah produk impor mendapatkan subsidi atau tidak, misalnya melalui Komite Anti Dumping dan Komite Pengawasan Perdagangan.
Ia juga mengungkapkan dukungannya terhadap pemerintahan Prabowo Subianto untuk membentuk Satgas Impor di bawah presiden guna menindak pelaku impor ilegal, yang masih terjadi melalui praktik penyelundupan dan penggeseran HS.
Jaga Kelangsungan Industri Tekstil
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen untuk menjaga kelangsungan industri tekstil dalam negeri yang tengah menghadapi tantangan besar.
Pernyataan tersebut disampaikan Airlangga setelah menggelar rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto dan sejumlah menteri terkait perkembangan industri tekstil dalam negeri di Istana Negara.
“Beliau ingin update mengenai situasi terkini, termasuk mengenai perusahaan Sritex. Arahan beliau agar perusahaan tetap berjalan,” kata Airlangga kepada awak media.
Mengenai status pailit Sritex, Menko Airlangga menegaskan bahwa pemerintah akan berkoordinasi dengan kurator untuk mencari solusi terbaik. “Nanti dilihat dulu, karena sekarang statusnya ada kurator, tentu harus ada pembicaraan dengan kurator,” ujarnya. (Lk)