Oleh: S. Alamsyah
Menutup akhir tahun, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menggelar diskusi. Kaleidoskop Media Massa 2025. Acara disiarkan live streaming di kanal podcast AFU (Akbar Faisal Uncensored). Banyak pembicara dihadirkan. Ada 9 narasumber, plus host Akbar Faisal.
Banyak pikiran menarik dalam diskusi itu. Mulai dari pertanyaan apakah media massa masih perlu ada? Hingga kenyataan pahit, susahnya media massa hidup “layak”. Sehingga tidak melepas wartawannya seperti ayam kampung, yang dibiarkan cari makan sendiri di lapangan.
Situasi krusial dan dilematik itu ditangkap dan ditanggapi dengan jujur oleh Ketua PWI Pusat, Akhmad Munir. Dia melontarkan gagasan agar negara hadir. Ditegaskan Munir, negara: bukan pemerintah. Meskipun bagi penulis, negara –terutama di Indonesia– sering direpresentasi oleh pemerintah.
Munir memberi ilustrasi. Insentif tax holiday bagi perusahaan media misalnya. Atau insentif tarif listrik bagi industri media. Bahkan sampai tunjangan bagi wartawan pemegang kartu uji kompetensi.
Gagasan ini tentu akan memicu banyak tanggapan. Tetapi harus diakui. Gagasan ini sebenarnya suara alam bawah sadar insan media. Seperti pernah terjadi saat Pandemi Covid-19. Media massa mendapat “asupan” yang sumbernya dari dana PEN-Covid.
Tetapi saat ini tidak ada Pandemi. Ruang fiskal negara yang sempit juga diperebutkan oleh prioritas-prioritas. Meskipun belanja Kementerian/Lembaga masih banyak yang menggunakan template lama. Yang boros dan buruk.
Penulis ingin memberi justifikasi gagasan Ketua PWI itu. Agar bisa jalan dengan dua sisi: Media memberi kontribusi penting sesuai perannya. Sehingga negara menganggap pantas untuk hadir dalam wujud seperti yang dilontarkan Munir.
Sebenarnya saat ini ada Pandemi yang lebih berbahaya dari Covid-19. Juga mengancam manusia. Tidak secara langsung mengancam nyawa. Tetapi mengancam kualitas manusia. Dengan faktor akibat yang lebih berbahaya dari Covid-19. Dan yang bisa mengobati adalah media massa.
Global Anxiety
Fenomena Global Anxiety (kecemasan global) saat ini telah menjadi era. Banyak ahli menyebut era ini sebagai “The Age of Anxiety”. Karena tumpukan krisis terjadi secara bersamaan di seluruh dunia. Atau disebut “Polycrisis” (krisis yang saling bertautan satu sama lain).
Di dunia, angkanya mencapai 8 hingga 10 persen dari populasi menderita ini. Di Indonesia sekitar 32 juta orang (yang tercacat based on medical). Bayangkan yang tidak tercacat. Artinya di dunia ini ada milyaran orang (puluhan juta di Indonesia) hidup dengan gangguan kesehatan mental dan depresi.
World Economic Forum mencatat nilai kerugian ekonomi akibat hilangnya produktivitas yang dipicu penyakit ini mencapai USD 1 trilyun per tahun. Karena penderitanya merasa waspada secara berlebihan (hyper-vigilance). Kesulitan merencanakan masa depan jangka panjang. Mengalami gangguan tidur dan kelelahan mental (burnout) yang kronis.
Apa penyebab penyakit ini? Paparan informasi buruk secara terus-menerus (doomscrolling). Hoaks, Miscaption, Deepfake, dan Sesat Pikir masuk ke tubuh kita melalui gadget di tangan. Survei Digital News Report 2025, menyebut 57% penduduk Indonesia mendapatkan informasi melalui media sosial. Bukan media massa. Sehingga timeline di media sosial saat ini menjadi instrumen opini publik. Bukan lagi instrumen chat atau obrolan. Group WA dipenuhi forward informasi (gambar/video) apapun.
Dis-informasi (hoaks, miscaption, deepfake, dan sesat pikir) ini bekerja seperti “polusi mental” yang merusak cara kita berpikir dan merasa. Bahayanya tidak hanya pada tingkat individu. Tetapi juga pada stabilitas masyarakat secara luas. Karena materi itu dirancang untuk memicu emosi ekstrem: ketakutan, kemarahan, rasa jijik, apriori dan penyakit mental sejenis.
Siapa pembuat atau produsennya? Tentu bisa dibahas di lain waktu. Karena akan sangat multi analisis. Termasuk akan menyentuh domain teori konspirasi dan cyber war.
Yang terpenting adalah negara, terutama Indonesia harus diingatkan ancaman ini. Jika masih ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045. Bukan Indonesia cemas. Di sinilah media massa harus mengambil peran serius. Sebagai vaksin dis-informasi. Tentu bukan pekerjaan mudah. Karena di Indonesia, portal khusus seperti Cekfakta dan Turnbackhoax ternyata masih “keteteran” mengejar kecepatan produsen dis-informasi.
Media massa secara umum masih mengandalkan keterangan pers sumber resmi sebagai klarifikasi atas dis-informasi yang sudah menyebar dengan sangat cepat. Bukan langsung mencegat dis-informasi itu di lini massa media sosial. Tentu klarifikasi selalu ketinggalan. Artinya, perang atau menu vaksin dis-infomasi ini belum menjadi etalase di media massa.
Jika media massa dan negara sepakat, penyakit ini harus ditangani serius, maka ada ruang negara hadir mendukung peran media. Dana trilyunan di semua kementerian di bawah payung Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) bisa disalurkan lebih tepat untuk perang terhadap pandemi ini.
Jakarta, 24 Desember 2025
Penulis adalah jurnalis, pendiri Pusat Studi Pembangunan berbasis Pancasila, kandidat doktor Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya.