Sengketa Tanah Tambak Sidoarjo: Kuasa Hukum Ahli Waris H. Djen Pasang Badan, Duga Ada Permainan di Balik Konsinyasi
Sengketa tanah tambak di kawasan Lingkar Timur Sidoarjo kembali memanas setelah munculnya gugatan konsinyasi yang diajukan oleh Puji Lestari, atau yang dikenal sebagai Ririn. Abdul Malik, kuasa hukum ahli waris H. Djen, menilai langkah yang diambil Ririn ini sebagai tindakan "konyol" dan terkesan dipaksakan.
SIDOARJO, Lenzanasional – Sengketa tanah tambak di kawasan Lingkar Timur Sidoarjo kembali memanas setelah munculnya gugatan konsinyasi yang diajukan oleh Puji Lestari, atau yang dikenal sebagai Ririn. Abdul Malik, kuasa hukum ahli waris H. Djen, menilai langkah yang diambil Ririn ini sebagai tindakan “konyol” dan terkesan dipaksakan.
“Pengajuan konsinyasi ini tidak berdasar dan terkesan dipaksakan. Ririn seolah memaksakan kehendaknya dengan mengklaim telah melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan pihak Basori pada 2015. Padahal, Basori sendiri mengaku tidak pernah menerima berkas PPJB tersebut hingga saat ini,” ujar Abdul Malik.
Abdul Malik menambahkan bahwa Puji Lestari dan pengacaranya, Robinson Panjaitan, telah dilaporkan ke Mabes Polri, Mahkamah Agung (MA), Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Komisi III DPR RI atas dugaan praktik mafia tanah.
Kasus sengketa ini bermula dari gugatan Basori terhadap ahli waris H. Djen terkait sebagian tanah tambak seluas 2,9 hektar yang belum bersertifikat. Basori memenangkan perkara ini dan berencana mengeksekusi lahan tersebut di Pengadilan Negeri Sidoarjo. Namun, pihak ahli waris H. Djen menolak putusan ini, karena wilayah yang diklaim Basori dianggap sebagai lahan milik H. Djen yang telah bersertifikat.
Pihak ahli waris H. Djen mengaku memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) asli, bukti pembayaran pajak, dan data resmi dari BPN Kanwil terkait lahan tersebut. Sementara itu, Basori dan timnya dinilai tidak memiliki dokumen asli atau bukti pembayaran pajak yang sah, dan data yang mereka ajukan di pengadilan pun berbeda dari data BPN Kanwil.
Ririn mengajukan konsinyasi dengan dasar bahwa dia telah melakukan PPJB dengan pihak Basori pada 2015, dan menyerahkan dana konsinyasi sebesar Rp 2,3 miliar ke Pengadilan Negeri Sidoarjo. Namun, Abdul Malik mempertanyakan dasar hukum pengajuan konsinyasi tersebut.
“Jika dasar konsinyasi adalah PPJB, maka keabsahannya perlu dipertanyakan. Pada 2015, status tanah tambak ini masih dalam sengketa. Melakukan jual beli atas objek yang masih sengketa jelas melanggar hukum,” jelasnya.
Abdul Malik menduga ada motif tersembunyi di balik pengajuan konsinyasi ini, mengingat Ririn mengajukan langkah ini setelah upaya damai antara keluarga ahli waris H. Djen dan Basori ditolak. Ririn diketahui sempat meminta kompensasi kepada keluarga Basori, namun permintaan tersebut tidak dipenuhi.
Abdul Malik menegaskan bahwa pihaknya akan terus memperjuangkan hak ahli waris H. Djen atas tanah tambak tersebut. Mereka berencana mengambil langkah hukum untuk membatalkan putusan dan eksekusi yang diajukan oleh Basori dan tim. Pihaknya juga akan melaporkan kasus ini kepada pihak berwenang untuk mengusut dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan Ririn.
“Kami yakin kebenaran akan terungkap. Kami akan terus berjuang untuk mendapatkan keadilan dan melindungi hak-hak ahli waris H. Djen,” tegas Abdul Malik.
Kasus ini mencerminkan kompleksitas masalah sengketa tanah di Indonesia, serta pentingnya upaya serius untuk menyelesaikan konflik tanah secara adil dan transparan.(**)