Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya menggelar Grand Launching Film Yang (Tak Pernah) Hilang.

0 36

SURABAYA, Lenzanasional – Kegiatan yang dibuka langsung Rektor UNTAG Surabaya, Prof. Dr. Mulyanto Nugroho, M.M., CMA., CPA.,. dan dihadiri 250 orang dari berbagai entitas ini merupakan kolaborasi GMNI UNTAG Surabaya, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), GMNI Unitomo Surabaya, ADREENA Media dan Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS).

“UNTAG Surabaya sebagai Kampus Merah Putih sudah selayaknya melahirkan generasi penerus bangsa yg patriotik dan peduli terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Diharapkan mahasiswa UNTAG Surabaya terus menjadi pelopor agent of change dalam konteks penegakan HAM dan kemanusiaan,” terang Prof. Mulyanto.

Film Yang (Tak Pernah) Hilang adalah sebuah film dokumenter yang secara substantif menceritakan tentang perjuangan, pengorbanan hingga penculikan dua aktivis mahasiswa asal Universitas Airlangga Surabaya, yakni Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah.

Melalui film ini diharapkan menjadi pemantik khalayak, khususnya generasi muda agar mempunyai referensi historis tentang otoritarianisme Orde Baru. Selain itu, sebagai upaya advokasi agar pemerintah segera menyelesaikan seadil-adilnya kasus penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi pada 1998 tersebut.

Produser film yang juga Koordinator IKOHI Jatim Dandik Katjasungkana, mengatakan Film Yang (Tak Pernah) Hilang ini sudah digagas mulai tahun 2019. Tapi karena kendala pandemi covid 19 serta kekurangan dana, proses awalnya mengalami stagnasi.

“Produksi film ini membutuhkan biaya besar, terutama untuk biaya perjalanan dan wawancara para narasumber di lima kota, yakni Surabaya, Malang, Jakarta, Jogjakarta dan yang paling jauh di Pangkal Pinang, Pulau Bangka, tempat lahir Herman,” ungkap Dandik.

Persoalan makin bertambah dan membuat seluruh kru film mengalami kesedihan mendalam, ketika sang penggagas film, Hari Nugroho, meninggal dunia pada tahun 2020.

Di tengah berbagai kesulitan dan kebuntuan yang dihadapi, pada tahun 2022, Dandik bertemu dengan Muni Moon dan Anton Subandrio yang berprofesi sebagai videomaker. Dari pertemuan tersebut, produksi film kembali dijalankan.

“Dalam hal pembiayaan, sejak awal, kami mengupayakan kemandirian. Kami patungan, memproduksi kaos KawanHermanBimo sebagai fundraising dan menerima sumbangan dari berbagai pihak yang peduli pada advokasi kasus penghilangan paksa aktivis pro-demokrasi 1998,” jelas Dandik.

Film Yang (Tak Pernah) Hilang tidak hanya berkisah tentang kasus penculikan Herman dan Bima, namun juga merekonstruksi kisah hidup mereka sejak kecil di mata keluarga, orang tua, kerabat, kawan sekolah dan masa kuliah, kawan sesama aktivis, dosen hingga aktivis partai politik.

“Secara keseluruhan, sebanyak 35 narasumber yang kami wawancarai. Itu sebagai upaya untuk mendapatkan informasi selengkap mungkin agar film ini bisa memotret biografi Herman dan Bima, sejak masa anak-anak, remaja sampai dewasa. Kami mau bercerita bagaimana karakter mereka terbentuk hingga mempunyai gagasan yang begitu kuat, teguh keyakinannya dan berjuang sampai menjadi martir demokrasi, ” beber Anton Subandrio.

Dia Puspitasari, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Tujuh Belas Agustus 1945, menyatakan, hilangnya Herman dan Bima adalah sebuah tragedi kemanusiaan.

“Film Yang (Tak Pernah) Hilang ini adalah referensi penting. Film ini harus dilihat dalam konteks bagaimana seharusnya peradaban dibangun dengan sebuah tanggung jawab, kejujuran dan keterbukaan. Anak-anak generasi milenial dan generasi Z (Gen Z) bisa belajar tentang sejarah kemanusiaan dengan menonton film ini. Supaya mereka bisa menjadi bagian dari gerakan melawan impunitas dan mencegah terulangnya kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi di negeri ini,” ungkap Dia Puspitasari. (R1F)

Comments
Loading...

This site is protected by wp-copyrightpro.com