Wibisono: Ancaman Krisis Ekonomi Semakin Nyata di Tahun 2019-2020

0 478
Pengamat Infrastruktur Indonesia Wibisono,SH,MH

Jakarta,Lenzanasional.com – Perkembangan perekonomian sepanjang tahun 2019 digambarkan akan datangnya krisis yang akan menghantam seluruh Infrastruktur Ekonomi Indonesia, baik dari sisi mikro maupun makro akan berada dalam siklus Krisis yang mengkawatirkan,ujar Pengamat Infrastruktur Wibisono,SH,MH Menyatakan ke Media dijakarta (1/8/2019).

Menurutnya, mengutip Release Badan Pusat Statistik (BPS) soal angka pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal II-2019. Data ini menjadi begitu penting jika mengingat perekonomian Indonesia tumbuh jauh di bawah target pemerintah, pada tiga bulan pertama tahun 2019, Untuk periode kuartal I-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan (year-on-year–YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus ekonom sebesar sebesar 5,19% YoY.

Wibi menambahkan Bila pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 kembali berada di bawah ekspektasi para ekonom, tentu saja pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 hampir bisa dipastikan akan mengkawatirkan,kata Wibisono.

Pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 di level 5,3%. Sedangkan perusahaan sekuritas asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019, imbuhnya.

Sinyal bahwa krisis itu memang ada dan sinyalnya cukup kuat datang dari pasar modal. PT Merryll Lynch Sekuritas Indonesia dan PT Deutsche Sekuritas Indonesia, sebuah perusahaan asal Amerika dan Jerman, menutup bisnis brokernya di Indonesia.

Itu artinya kedua broker asing itu berhenti sebagai Anggota Broker (AB) di Bursa Efek Indonesia (BEI) per 11 Juli 2019. Padahal untuk menjadi AB di BEI tidak mudah dan tidak pula murah. Alasannya, selain sedang melakukan restrukturisasi di kantor pusat, likuiditas di pasar modal Indonesia sudah kering sehingga tak menarik lagi bagi kedua perusahaan sekuritas asing tersebut.

Ini juga merupakan sinyal buruk bahwa terjadi crowding out effect di pasar. Dimana Pemerintah Indonesia begitu getol mencari likudiitas di pasar lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan bunga tinggi. Akibatnya industri perbankan, industri pasar modal, industri asuransi dan industri finance harus bersaing dengan regulator dan sekaligus operator, yang sudah pasti akan kalah.

Pasar pun dikuasai Pemerintah, bank-bank, perusahaan emiten, perusahaan asuransi dan perusahan finance lambat laun tersingkir dari pasar Indonesia. Padahal tugas pemerintah seharusnya melakukan pendalaman pasar, bukannya memperkeruh pasar, sehingga likudiitas begitu sulit diperoleh oleh selain pemain Pemerintah.

Tanda-tanda lain yang menunjukkan adanya krisis adalah kasus gagal bayar (default) obligasi mendera perusahaan tekstil terbesar Indonesia, PT Delta Merlin Dunia Textile. Anak usaha perusahaan tekstil ternama Duniatex Group ini dikabarkan gagal bayar bunga dan pokok surat utang senilai US$11 juta atau ekuivalen dengan Rp154 miliar (dengan kurs 14.015).

Terang saja, gagal bayar ini membuat bank ketar-ketir. Setidaknya ada 10 bank kreditur yang telah menyalurkan kredit kepada anak Duniatex itu. Pada 2018 saja, duit yang mengalir dari bank-bank itu ke perusahaan tersebut senilai Rp5,25 triliun dan US$362 juta.

Sejumlah perusahaan sekuritas asing justru memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group, memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Kalau kita berkaca ke belakang, sudah lama sekali perekonomian Indonesia tumbuh stagnasi. Bahkan, loyonya perekonomian Indonesia sudah terjadi di masa awal kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden. Diduga pertumbuhan tidak bisa eksplosif lantaran terlalu berat beban utang yang harus ditanggung APBN, sehingga penerimaan yang ada bukan digunakan untuk menggenjot pertumbuhan, tapi habis tertelan angin untuk membayar pokok dan bunga utang.

Tidak bisa dipungkiri roda perekonomian sepanjang Januari hingga Juli 2019 menunjukkan fenomena menarik. Terutama terjadi berbagai penurunan kinerja baik di level APBN, BUMN, korporasi hingga di level masyarakat, seolah sepakat mengatakan kita sudah memasuki periode krisis ekonomi,pungkas Wibisono (wb)

Comments
Loading...

This site is protected by wp-copyrightpro.com