YANG DIKATAKAN PREMAN

0 983

(R.A. Santri Jaksa Agung 21)

Penulis mengawali tulisan ini dengan suatu ketidak “PD” an untuk mendeskripsikan seseorang yang hampir 10 tahun penulis ikuti. Sosok yang bicara dengan otot dan pita suara besar sehingga selalu tedengar keras. Dan memang sosok keras yang hampir dipastikan setiap orang didekatnya pernah dimarahi. Sosok alot yang tidak mudah berubah pendirian. Sosok yang sudah dicap sebagian masyarakat sebagai “Preman”.

Seperti sebagian masyarakat lain, yang penulis dengar sebelumnya tentang sosok tersebut adalah preman kejam. Sehingga tidak ada rasa yang lebih pada diri penulis kecuali rasa takut terkena bentak dan marah ketika pertama kali gabung. Penulis membiarkan pikiran itu melekat dan menjalani laiknya seorang karyawan yang bekerja pada seorang Bos.

Namun, entah apakah memang dunia terbalik. Dia preman, tapi tangan kanannya tidak pernah lepas dari tasbih, yang diputar tanpa henti. Penulis dapat memastikan bahwa yang diwiridkan bukan “mantra sakti” atau zikir “kebal tembak” karena yang pernah diajarkan pada penulis adalah zikir “Surat Alhasr”.

Begitu juga dengan kewajiban Sholat lima waktu, dijalankannya lengkap dengan sunnah mua’kadnya. Pesannya,”Baromater Komitmen seseorang adalah pada sholatnya. Jika pada Allah saja tidak komitmen, bagaimana dengan kita”. Semenjak itu, pikiran tentang sosok preman mulai diuji di laboratoriom kenyataan.

Sekira tahun 2009, Sosok tersebut membagikan alat komunikasi blackberry (alat komunikasi canggih dikala itu). Tidak ada kiriman rutin dari beliau di jam 03.00 dini hari melainkan “tahajud call”. Penulis penasaran dan bertanya pada Mas Sefdin yang saat itu sering mendampingi beliau, “Mas, aplikasi opo sing digawe bose, kok jam telu mesti otomatis muni “tahajud call”? (aplikasi apa yang dipakai bos, kok setiap jam tiga otomatis bunyi “tahajud call”. Celakanya, bukan dijawab justru malah di “wadulkan” langsung ke orangnya. Bukanya marah, beliau justru membalas dengan tertawa lepas. Dan penulis akui, hingga saat ini tidak ada aplikasi broadcast otomatis pada jam tertentu dengan materi yang berbeda. Dan kebiasaan tahajud Call itu berlanjut hingga era “whatsapp”.

Cerita unik dari seorang anak rantau. Dia datang dari Lampung dan tinggal di Jaksa Agung 21. Suatu malam, diajaklah dia oleh seorang senior masuk ke tempat billiard. Memang nikmat pemandangan billiard di malam hari yang lengkap dengan view score girl dan sebagainya. Esok paginya anak itu dipanggil menghadap Beliau, “darimana saja kamu semalam?” pertanyaan sederhana namun cukup menyambar, padahal semalam di kantor sepi. Didudukkanlah si anak itu lalu dinasehati, untuk selanjutnya diberikan tugas membuat pernyataan kepada Allah SWT bahwa tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Dan tugas selanjutnya adalah iktikaf di musholla 40 hari. Dan anak itu kini menjadi seorang Advokat di Surabaya.

Anak itu adalah salah satu dari sekian banyak santri yang bisa sekolah karena uluran tangan beliau. Sosok unik, dianggap preman tapi tangannya tidak bisa diam untuk membantu pelajar-pelajar melanjutkan studi. Tidak terhitung berapa jumlahnya, karena jumlah siswa yang pernah dibantu tidak pernah dicatat. Dia bantu, dia tidak ingin mengingat, lalu dia lupakan. Masih ingat dalam benak penulis, pernah dia sampaikan,”sekolaho maneh sing dukur, mumpung aku sek mampu.” (sekolah yang tinggi mumpung saya masih mampu). Dia minta balasan? Tidak. Apakah dia meminta kita mengingat-ingat jasanya? Tidak.

Sosok yang dicap preman itu memberikan sumbangan rutin kepada yatim piatu. Mengundangnya buka bersama di berbagai organisasi yang dia pimpin. Diberikan motivasi dan semangat agar kelak para yatim menjadi generasi yang tangguh dan mandiri. Sekalipun sosok itu sering terlibat dalam kegiatan politik, namun tidak satupun permintaan terlontar kepada pengurus panti agar mendukung keputusan politiknya. Suatu pemberian yang tidak pernah diharapkan balasan.

Di sepanjang bulan Ramdhan, antrian panjang didepan kantor Jalan Jaksa Agung 21 Surabaya. Untuk apa? Mereka mengambil takjil buka puasa. Bahkan disaat dirinya “mondok” di Kejaksaan karena tuduhan Tipikor, kebiasaan bagi takjil dan buka bersama tetap jalan dan tidak boleh dihentikan. Begitu pula dengan ratusan ton beras yang rutin dibagikan, tidak boleh “mandeg” hanya lantaran dirinya mendekam di tahanan. Barangkali tidak ada yang dipikirkan oleh sosok itu melainkan menjaga agar jangan sampai orang-orang dibawah tanggungannya ikut merasakan derita atas peristiwa tahun 2016 itu. Sehingga ditahun 2014, adalah tuduhan yang salah sasaran jika amalan bulan ramadhan itu sebagai money politic karena dia melakukannya semenjak tahun 80 an.

Setelah PN Jakarta Pusat menyatakan dirinya secara sah dan meyakinkan tidak terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi, apakah dia dendam? Tidak, justru dirinya sangat bersyukur karena disitulah dia mendapat banyak pelajaran. Bahkan, dia tetap undang Kejaksaan Tinggi pada acara Muswil PP Jatim yang digelar besar-besaran di Jatim Expo. Bahkan dia berikan jaminan keamanan,”barangsiapa berani ganggu tamu dari kejaksaan, akan berhadapan dengan saya.”

Disisi lain, dia perintahkan seluruh karyawan untuk mengurus paspor. Bahkan bukan hanya karyawan, orang yang dia kenal pun dimintai. Ternyata, secara rombongan dan bergantian, mereka diberangkatkan umroh. Tidak hanya itu, mereka dijamu dengan fasilitas jamaah VIP. Tidak ada tagihan belakang atau kalimat dengan maksud mengungkit dari lisannya. Dia punya travel umroh, Penulis berpikir dapat dipastikan travel itu tidak pernah untung. Namun dia katakan,”Saya yakin Allah akan mengganti dengan rizqi yang lain. Saya tidak akan rugi dengan memberangkatkan sekian banyak orang ini.”

Penulis diberangkatkan Umroh disaat perkara PSSI melawan Menpora sedang seru. Tiap malam jama’ah digiring didepan ka’bah untuk zikir “sholawat nariyah” hingga kurang lebih 6000 sholawat nariyah. Penulis berpikir, sholawat itu pasti ditujukan untuk melumpuhkan lawan (Menpora). Diluar dugaan dia menyampaikan,”Zikir itu jangan ditunjukkan untuk melumpuhkan lawan. Demi Allah saya tidak ada dendam kepada Imam Nahrawi. Saya tidak ada dendam kepada siapapun”

Hal lain yang penulis tahu, tidak pernah terlewat seorang karyawan pun yang tidak didaftar namanya pada zakat yang dia keluarkan. Ratusan ton zakat tahunan itu dipastikan telah teratasnamakan keluarga dan karyawan. Begitu juga saat datang Hari Raya Qurban, nama seluruh karyawan didaftar, kemudian mengatasnamakan hewan Qurban tersebut atas nama mereka. Inikah yang disebut Preman?

Ada suatu cerita. Datang seseorang dengan rambut panjang bertamu ke beliau. Si Rambut panjang itu sesumbar kesaktian bahwa tidak ada yang bisa memotong rambut panjangnya, sesakti apapun itu. Beliau tidak berpikir panjang, dipanggillah santri binaan yang masih muda. “Coba kamu potong rambutnya!” Rambut itu dengan mudah dapat dipotong oleh Sang Santri. Hingga akhirnya orang itu pamit dengan kepala tertunduk dan kepala gundul. Orang semakin bingung tentang siapa dia sebenarnya.

Tahun 2017 dan awal tahun 2018, orang yang dicap preman itu, memerintahkan anggota-anggotanya untuk sholat hajat 12 rakaat berjamaah yang dimulai jam 23.00 WIB. Jumlah jamaah harus minimal 40 orang selama 7 hari berturut-turut. Jika jama’ah kurang, maka harus diulang dari hitungan awal hari. Jam 23.00 adalah jam dimana tempat hiburan malam buka dan ramai, bagaimana sempat di jam itu para anak buah datang ke tempat hiburan sementara mereka diperintah untuk takbir, ruku’ dan sujud.

Sementara sebagian orang masih gencar memberondong sosok itu dengan “Cap Preman”. Cap Preman itu dia jawab dengan ringan,”Saya tidak apa-apa dianggap preman oleh manusia, asal jangan dianggap preman oleh Allah.” Sosok itu kini kenal dengan nama Ahmad Abdullah La Nyalla Mahmud Mattalitti, atau dibaca AA La Nyalla M.M.

Sudah sejak lama penulis melepaskan anggapan diri sebagai “karyawan” dan beliau adalah “Bos”. Terlalu sempit jika menganggapnya sebagai bos, karena predikat bos sebatas identik dengan “uang”. Kini penulis memposisikan sebagai “santri” yang menimba ilmu. Dia adalah Guru yang berfungsi sebagai “sumur” tempat menimba ilmu. Seorang guru tidak selalu mengajarkan secara langsung ilmu. Dia ajarkan dengan jalan “hikmah”, “mauidhotul khasanah” (nasehat yang baik, dan “jaadilhum billati hiya akhsan” (dinamika berpikir yang baik).

Penulis mencoba lirik kisah sosok lain. Ada sosok pejabat publik yang hampir dipastikan meminta “jatah” di setiap pekerjaan pengadaan di daerahnya. Ditumpuklah harta itu untuk mengganti uang yang dikeluarkanya untuk menjabat dan untuk persiapan mempertahankan diperiode selanjutnya. Jika tidak, maka si Pelaksana Pekerjaan akan dihambat. Ada pula sosok pengusaha yang sowan ke berbagai pemangku kebijakan untuk meminta pekerjaan dan menghadap aparat penegak hukum untuk mengamankan pekerjaan. Bagi yang bersebrangan bakal di”acarakan” dan dijebloskan bui. Tidaklah yang mereka jadikan bancakan melainkan “uang rakyat”. Mereka sakti, di depan publik mereka dicitrakan sebagai sosok santun, bersahaja, berwibawa, kadang juga dicitrakan sebagai pejabat dan pengusaha cerdas.

Dua fakta itu membuat dahi kita mengrenyit dan bertanya heran, siapa sesungguhnya preman itu? Yang dhohirnya keras membentak-bentak tapi tangan belakangnya membuka lebar untuk anak yatim dan kaum dhu’afa. Ataukah mereka yang dicitrakan santun, bersahaja, berwibawa, cerdas dan beragama tapi tangan belakangnya memeras, menginjak, dan meraup rakus uang rakyat, hak anak yatim dan kaum dhuafa. Wallahu a’alam bis showab.

Comments
Loading...

This site is protected by wp-copyrightpro.com