Surabaya – Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor layanan kesehatan di Kota Surabaya menunjukkan capaian signifikan. Salah satu penyumbang terbesar datang dari Puskesmas Sidotopo Wetan yang berhasil mencatat PAD murni mencapai Rp6 miliar lebih pada tahun berjalan.
Capaian ini disampaikan dalam rapat evaluasi bersama jajaran terkait. Disebutkan, Puskesmas Sidotopo Wetan menjadi puskesmas dengan pendapatan tertinggi di Surabaya, diikuti Puskesmas Simo Mulyo dan Puskesmas Tanah Kali Kedinding.
“Puskesmas Sidotopo Wetan PAD murninya mencapai Rp6.691.470.048 tahun ini. Tahun lalu sekitar Rp5,06 miliar. Peringkat kedua Puskesmas Simo Mulyo dengan Rp4 miliar, dan ketiga Tanah Kali Kedinding juga Rp4 miliar,” ungkap anggota Komisi D DPRD Surabaya, dr Michael Leksodimulyo dalam rapat tersebut, Selasa 4 November 2025.
Motivasi dan Inovasi Layanan Jadi Kunci
Peningkatan PAD tersebut tidak lepas dari motivasi dan inovasi layanan yang dilakukan oleh kepala Puskesmas Sidotopo Wetan. Setelah dilakukan inspeksi mendadak (sidak) beberapa waktu lalu, pihak puskesmas berupaya mengembangkan berbagai layanan, mulai dari kesehatan ibu dan anak, layanan kandungan, hingga perawatan lansia.
Langkah ini berdampak pada peningkatan jumlah pasien dan layanan rawat inap, terutama karena wilayah tersebut memiliki jumlah penduduk yang padat dan jarak cukup jauh dari rumah sakit.
“Kepala Puskesmasnya punya motivasi yang bagus. Setelah sidak, mereka mengembangkan layanan untuk kandungan, lansia, hingga anak. Akhirnya pendapatan meningkat pesat,” ujarnya.
Masalah Akses dan Literasi Digital di Puskesmas Pinggiran
Meski demikian, masih ada sejumlah puskesmas yang perlu mendapat perhatian. Beberapa di antaranya, seperti Puskesmas Balas Klumprik dan Puskesmas Bangkingan, tercatat memiliki PAD paling kecil, masing-masing sekitar Rp891 juta dan Rp919 juta.
Kendala utama yang dihadapi adalah lokasi yang jauh dari pusat kota dan jumlah penduduk yang relatif sedikit. Selain itu, terdapat masalah pada akses dan literasi digital masyarakat.
“Banyak warga yang tidak bisa membaca dan menulis, tapi diminta mendaftar secara digital. Akibatnya, ada warga yang sampai dua jam menunggu di depan UGD tanpa bisa mendaftar karena tidak ada petugas yang membantu,” kata Imam.
Kasus ini menunjukkan perlunya perhatian serius terhadap pelayanan berbasis digital di kawasan pinggiran, agar seluruh lapisan masyarakat dapat merasakan kemudahan akses kesehatan tanpa kendala administratif.
Perlu SDM yang Siaga dan Peduli
Sebagai evaluasi, para anggota dewan mendorong agar setiap puskesmas menempatkan petugas khusus yang membantu warga lanjut usia atau masyarakat dengan keterbatasan literasi. Dengan begitu, pelayanan menjadi lebih manusiawi dan cepat.
“Harus ada petugas yang siaga membantu warga. Jangan sampai ada pasien menunggu lama di depan UGD tanpa pelayanan hanya karena kendala administrasi,” tegas politisi PSI ini.
Dengan berbagai evaluasi dan pembenahan ini, diharapkan seluruh puskesmas di Surabaya dapat meningkatkan kualitas layanan sekaligus memperkuat kontribusinya terhadap pendapatan daerah.
