
SURABAYA, Lenzanasional – Banjir besar melanda Jabodetabek pada Maret 2025 akibat luapan air dari kawasan Puncak. Ribuan rumah di Jakarta, Depok, dan Bekasi terendam, memaksa banyak warga mengungsi. Namun, dampak bencana ini tidak hanya dirasakan oleh pemukiman, tetapi juga sektor pertanian yang mengalami kerusakan parah.
Lahan pertanian yang tergenang dalam waktu lama mengalami penurunan produktivitas. Tanaman seperti padi, jagung, dan kedelai mengalami gagal panen akibat akar yang membusuk dan pertumbuhan yang terhambat.

Berdasarkan data terkini, perubahan iklim ekstrem telah menyebabkan kehilangan produksi sebesar 20,6% untuk padi, 13,6% untuk jagung, dan 12,4% untuk kedelai. Jika situasi ini tidak segera diatasi, Indonesia bisa menghadapi ketidakstabilan pasokan pangan dan lonjakan harga di pasaran.
Selain kerusakan fisik pada tanaman, banjir juga memicu peningkatan serangan hama dan penyakit. Lingkungan lembap akibat genangan air menciptakan tempat berkembang biak yang ideal bagi jamur dan bakteri patogen.
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) pun semakin mudah menyebar, memperbesar ancaman bagi petani. Tanaman yang masih bertahan setelah banjir sering kali mengalami serangan jamur seperti Fusarium dan Phytophthora, yang dapat menyebabkan layu dan kematian tanaman secara massal.
Jika tidak segera ditangani dengan baik, hal ini akan memperparah dampak gagal panen dan berpotensi mengancam ketahanan pangan nasional.
Untuk mengurangi dampak buruk banjir terhadap pertanian, diperlukan berbagai strategi adaptasi. Salah satunya adalah penggunaan varietas tanaman tahan genangan, seperti padi yang mampu bertahan dalam kondisi terendam lebih dari 10 hari.
Peningkatan sistem drainase juga menjadi kunci agar air tidak menggenangi lahan terlalu lama. Teknik tanam jajar legowo bisa diterapkan untuk meningkatkan aerasi tanah, sementara pembangunan embung dan kolam retensi dapat membantu menampung kelebihan air saat musim hujan.
Di bidang agroindustri, inovasi seperti pupuk lepas lambat atau briket nitrogen bisa membantu mengurangi kehilangan nutrisi selama tanaman terendam air. Pemanfaatan sistem informasi iklim juga memungkinkan petani menentukan waktu tanam yang lebih tepat, menghindari periode rawan banjir.
Dengan strategi yang tepat, dampak cuaca ekstrem bisa diminimalkan, sehingga ketahanan pangan tetap terjaga.
Keberhasilan mitigasi banjir di sektor pertanian sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah, akademisi, dan petani.
Pemerintah perlu mempercepat pembangunan serta perbaikan infrastruktur irigasi dan drainase agar lebih siap menghadapi curah hujan tinggi. Konsep tata ruang berbasis mitigasi, seperti Zero Delta Q, harus diterapkan guna meningkatkan kapasitas penyimpanan air di wilayah rawan banjir.
Di sisi lain, akademisi dan lembaga penelitian harus mengembangkan teknologi adaptasi perubahan iklim. Penelitian tentang varietas tanaman tahan banjir, teknik pertanian berkelanjutan, dan sistem irigasi cerdas menjadi kunci dalam menghadapi tantangan iklim ekstrem.
Selain itu, pelatihan dan penyuluhan kepada petani perlu ditingkatkan agar mereka lebih siap menghadapi risiko banjir serta mampu menerapkan teknologi pertanian yang lebih adaptif.
Beberapa negara telah sukses menghadapi tantangan pertanian di tengah risiko banjir dan dapat menjadi referensi bagi Indonesia:
Belanda memiliki sistem manajemen air canggih dengan polder, kanal, dan bendungan yang mampu mengendalikan banjir secara efektif. Mereka juga mengembangkan pertanian terapung, di mana tanaman dapat tumbuh di atas platform yang mengikuti ketinggian air.
Bangladesh telah mengembangkan varietas padi tahan banjir yang mampu bertahan dalam kondisi terendam lebih dari dua minggu.
Vietnam dan Thailand memiliki sistem tata air yang efisien serta melakukan diversifikasi tanaman guna mengurangi risiko gagal panen akibat banjir.
Jepang telah mengadopsi teknologi pertanian cerdas berbasis data dan otomatisasi, yang memungkinkan petani tetap produktif meski cuaca ekstrem melanda.
Indonesia dapat belajar dari strategi negara-negara tersebut untuk meningkatkan ketahanan sektor pertanian terhadap banjir.
Banjir yang terjadi di Jabodetabek pada Maret 2025 menjadi pengingat bahwa perubahan iklim membawa ancaman serius bagi sektor pertanian. Jika tidak segera diantisipasi, dampaknya tidak hanya dirasakan petani, tetapi juga masyarakat luas akibat ketidakstabilan harga dan pasokan pangan.
Diperlukan langkah konkret dari pemerintah, akademisi, petani, dan sektor swasta untuk memastikan pertanian Indonesia lebih siap menghadapi banjir. Dengan perencanaan matang, inovasi teknologi, serta sinergi semua pihak, ketahanan pangan nasional dapat tetap terjaga di tengah ancaman perubahan iklim.(**)