Capital Flight Ancam Jawa Timur, 11 Ribu Badan Usaha Konstruksi Hilang dalam 4 Tahun Terakhir
Surabaya – Capital flight atau keluarnya dana daerah akibat proyek konstruksi dikerjakan kontraktor dari luar Jawa Timur kini menjadi ancaman serius bagi perekonomian daerah. Kondisi ini diperparah dengan merosotnya jumlah badan usaha jasa konstruksi di Jatim secara drastis. Data menunjukkan, dalam empat tahun terakhir, jumlah perusahaan pemilik Sertifikat Badan Usaha (SBU) anjlok dari lebih 14 ribu pada akhir 2020 menjadi kurang dari 3 ribu saat ini. Artinya, lebih dari 11 ribu badan usaha lenyap dari peta industri konstruksi lokal.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa ribuan badan usaha enggan memperpanjang SBU, dan siapa yang kini menguasai pasar konstruksi di Jawa Timur?
Regulasi yang Kian Kompleks
Wakil Ketua Gapeknas Jawa Timur, Muhammad Alyas SH MH, menyebutkan ada beberapa faktor utama. Pertama, regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 membuat syarat pengurusan SBU semakin rumit.
“Dulu persyaratannya lebih sederhana. Sekarang syarat semakin banyak, sehingga pelaku usaha kecil menengah merasa keberatan,” ujarnya.
Faktor lain adalah sulitnya akses proyek. Sistem pengadaan pemerintah yang berbasis e-procurement dan e-katalog dinilai makin tertutup. “Sekarang mencari proyek tidak lagi fair. Dibutuhkan kedekatan personal dengan pihak tertentu. Akhirnya banyak kontraktor kecil enggan memperpanjang SBU karena merasa tidak punya peluang,” tambahnya.
Dampak Hilangnya LPJK Daerah
Kondisi makin berat setelah Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Provinsi dilikuidasi. Seluruh kewenangan kini terpusat di Jakarta. Padahal, LPJK daerah sebelumnya berperan penting dalam pembinaan, pendataan tenaga kerja, hingga pemetaan badan usaha sesuai kapasitas daerah.
“Sekarang data valid soal kebutuhan tenaga kerja konstruksi sulit didapatkan. Padahal dulu LPJK provinsi rutin melakukan pembinaan,” kata Alyas yang pernah menjabat Sekretaris LPJK dua periode.
Risiko Capital Flight
Gapeknas menyoroti langsung ancaman capital flight. Menurut Alyas, proyek bernilai ratusan miliar di kabupaten/kota seharusnya dikerjakan kontraktor lokal agar dana APBD berputar di daerah. Namun kenyataannya, banyak proyek besar dikerjakan kontraktor luar provinsi.
“Kalau dikerjakan kontraktor luar, uang daerah justru keluar. Padahal kompetensi pengusaha dan tenaga kerja konstruksi Jatim tidak kalah,” tegasnya.
Dorongan untuk Pemerintah
Gapeknas mendesak pemerintah provinsi melibatkan kembali asosiasi kontraktor dalam pembinaan. Forum komunikasi yang dulunya rutin, seperti Forum Masyarakat Jasa Konstruksi, sudah empat tahun vakum.
“Kami berharap Dinas Cipta Karya maupun DPRD Jatim proaktif mengundang asosiasi. Masalah penurunan jumlah badan usaha ini harus dicari solusinya bersama,” jelas Alyas.
Selain itu, Gapeknas meminta agar proyek kecil dan menengah diprioritaskan untuk kontraktor lokal, sejalan dengan amanat UU Jasa Konstruksi.
Peran Gapeknas
Di tengah tekanan regulasi dan digitalisasi, Gapeknas Jatim berupaya mendampingi anggotanya. Beberapa langkah yang ditempuh:
1. Membantu pemenuhan syarat administrasi SBU, termasuk sertifikat kompetensi kerja.
2. Mendorong literasi digital agar kontraktor lebih siap menggunakan sistem e-katalog.
3. Meningkatkan profesionalitas agar proyek sesuai standar mutu dan bermanfaat bagi masyarakat.
“Kami ingin mengingatkan bahwa proyek APBD itu berasal dari uang rakyat. Selain mencari keuntungan, kontraktor juga harus meninggalkan karya monumental bagi daerahnya,” tegas Alyas.
Perlunya Kebijakan Protektif
Gapeknas menilai Jatim perlu belajar dari provinsi lain yang lebih protektif terhadap kontraktor lokal. Paket proyek kecil, misalnya, sebaiknya benar-benar diprioritaskan untuk pelaku usaha setempat.
“Kalau kita kontraktor Surabaya mengerjakan proyek di Surabaya, tentu lebih bertanggung jawab karena kita ikut menggunakan fasilitas itu. Berbeda dengan kontraktor luar yang orientasinya hanya keuntungan,” pungkas Alyas.
Penurunan jumlah badan usaha konstruksi dari 14 ribu menjadi kurang dari 3 ribu dalam empat tahun terakhir menjadi alarm serius. Tanpa kebijakan protektif dan keberpihakan pada pengusaha lokal, sektor konstruksi Jatim terancam makin terpuruk dan potensi ekonomi daerah justru mengalir ke luar melalui capital flight.