KPK diperkuat atau diperlemah?

0 431

Oleh : Direktur LKHAI Hartadi Hendra Lesmana, S.H., M.H.

Akhir-akhir ini media masa hingga aksi masa terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Persoalan yang diangkat dari media masa dan masa aksi yakni permasalahan RUU KPK yang disinyalir kuat akan digunakan untuk memperlemah KPK dalam menangani pemberantasan korupsi di Indonesia.

Tetapi jika dilihat lebih jauh, yang menarik dari masa aksi tersebut tidak semua masa aksi menolak RUU KPK tetapi juga ada yang beranggapan bahwa dengan disahkannya RUU KPK akan memperkuat KPK itu sendiri.

Hal ini menarik dibicarakan karena ketika dua kubu tersebut menyerukan suatu yang berbeda tetapi memiliki tujuan yang sama yakni memperkuat KPK.

Lembaga Kajian Hukum dan Advokasi Indonesia (LKHAI) yang merupakan Sayap dari Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara Indonesia (LPKAN Indonesia) angkat bicara mengenai RUU KPK dan Pengunduran diri 3 Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Periode 2015 – 2019 dengan menyerahkan tanggung jawab Pengelolaan KPK kepada Presiden merupakan tindakan yang gegabah dan akan membawa stigma negatif bagi Lembaga itu sendiri serta sangat disayangkan oleh banyak Pihak.

Alasan Penyerahan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Presiden adalah karena Presiden adalah Panglima Pemberantasan Korupsi merupakan alasan yang kurang berkesan dan tidak mendidik kepada Generasi kita Bahwa Seorang Ksatria itu harus berani menghadapi resiko apapun, ujar Wakil Direktur LKHAI R. Dedy Darmawan, S.H.

Ketika Pimpinan KPK melakukan “penyerahan mandat” kepada Presiden sungguh ini adalah ‘pelecehan’ kepada presiden, karena tidak ada penegasan dalam UU KPK tentang penyerahan mandat dan tanggung jawab, presiden justru akan bersalah secara konstitusi jika sampai menerima “penyerahan mandat” tersebut.

KPK sepertinya keblinger sendiri, ingat KPK adalah sama kedudukannya dengan Jaksa dan Polri, mereka adalah “sekedar” pelaksana undang-undang, bukan superbody. Tambahan pernyataan dari Direktur LKHAI Hartadi Hendra Lesmana, S.H., M.H.

Wakil Direktur LKHAI menambahkan seharusnya 3 Pimpinan KPK tidak perlu mengundurkan diri karena Kinerja beliau-beliau sangat luar biasa dan kami sangat mengapresiasi kinerja KPK hingga saat ini dan seharusnya saat masa Jabatan berakhir, KPK bisa menyerahkan Pertanggungjawaban kinerja yang sangat luar biasa secara Publik.

Menyinggung RUU tentang adanya Dewan Pengawas KPK menurut Wakil Direktur LKHAI memang perlu ada untuk melakukan Pengawasan atas suatu Kinerja termasuk juga izin melakukan Penyadapan, karena Penyadapan bisa dijadikan alat bukti.

Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Lembaga Kajian Hukum dan Advokasi Indonesia Abdul Gofur, S.H., M.H. bahwa KPK harus Legowo dengan adanya RUU yang baru. Hal ini bukan untuk mengkebiri melainkan untuk lebih Profesional. Tidak ada orang yang kebal hukum tetapi dalam Undang-undang orang di lindungi oleh Hak Azasi Manusia, ujarnya.

Terlepas dari pro dan kontra di atas, timbul pertanyaan perlukah lembaga pengawas KPK?, jika perlu seperti apa wujud lembaganya, bertanggung jawab kepada siapa dan figur seperti apa yang cukup mumpuni untuk duduk disana.
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, pernahkah merasa bahwa tindakan untuk penegakan hukum seperti penyadapan, pemeriksaan sampai penahanan yang dilakukan oleh KPK sudah offside?.

Direktur LKHAI memberikan keterangan bahwa segala hal dia sadap dan dia “umbar” ke publik sampai masalah privasi si tersangka yang seharusnya bukan bagian dari materi penyidikan, kemudian status seorang tersangka yang “digantung” sedemikian lamanya (baca kasus sdr. RJ. Lino dan eks Dirut Garuda) tanpa kepastian hukum kapan akan disidangkan perkaranya.

Belum lagi status pemeriksaan seorang saksi yang tidak diperkenankan didampingi penasehat hukumnya (padahal ini bagian dari strategi pemeriksaan mereka), sehingga saat dinaikan statusnya sebagai tersangka, ia hanya ditanya: “apakah keterangan sdr tersangka tetap sama saat diperiksa sbg saksi?” – jika demikian dimana momen kita memberikan bantuan hukum pada klien saat diperiksa sebagai tersangka.

“Ultra Vires Rules, yah inilah doktrin yang kita kenal dalam hukum perseroan terbatas, penulis hanya mencoba membandingkannya dengan tindakan offside-nya KPK dalam pelaksanaan penegakan hukum” Ujar Direktur LKHAI.

Doktrin diatas memiliki arti melebihi kekuasaan atau kewenangan yang diizinkan oleh hukum, jika hal itu terjadi maka seorang direktur perseroan terbatas harus bertanggung jawab sampai harta kekayaan pribadinya. Lantas bagaimana dengan KPK, siapa yang akan menyatakan dirinya telah offside jika dirinya merasa superbody, ironis bukan…?. Presiden saja diawasi oleh BPK dan DPR, kan ironis jika KPK tidak ada pengawasannya bukan ?

Lantas apakah kita butuh lembaga yang mengawasi KPK, jawabnya: ya, mutlak kita butuhkan itu. Terlepas seperti apa bentuknya nanti yang penting lembaga ini harus bertanggung jawab langsung kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan dan bagaimana bentuk-bentuk sanksinya tentu itu akan menjadi bagian dari concern berikutnya.

Selanjutnya sosok seperti apa yang memenuhi syarat sebagai dewan pengawas KPK, disini ketika dimintai keterangan Direktur, Wakil Direktur sepakat menyatakan bahwa dewan pengawas harus seseorang yang punya integritas tinggi, kredibel, tidak menjadi bagian dari partai politik tertentu dan terakhir tegas. Karena  pengawasan dibutuhkan untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kewenangan.

Bapak Antasari memiliki Track record yang baik sebagai salah satu dewan pengawas KPK, beliau adalah Mantan Ketua KPK, Beliau pernah di BPHN Departemen Kehakiman, Jaksa Fungsional diKejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan dan Kejaksaan Tanjung Pinang, Kasi Penyidikan Korupsi Kejaksaan Tinggi lampung, Kasi Pidana Khusus Kejaksaan negeri Jakarta Barat, Kasubdit Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung.

Bapak Antasari Azhar adalah sosok tepat yang mewakili kriteria di atas sebagai salah satu Dewan Pengawas KPK. Pungkas Hartadi ketika dimintai pendapat.

Comments
Loading...

This site is protected by wp-copyrightpro.com