Polda Metro Jaya Tetapkan Kakak Ketua DPD RI Sebagai DPO Kasus Tipu Gelap Rp33 Miliar
Jakarta – Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya resmi menetapkan mantan Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamuddin sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Agusrin merupakan kakak kandung Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan Bachtiar Najamuddin dan terseret kasus dugaan penipuan dan penggelapan bernilai puluhan miliar rupiah.
Selain Agusrin, penyidik juga menetapkan Raden Saleh Abdul Malik sebagai DPO. Keduanya diduga terlibat kasus tipu gelap senilai Rp33,3 miliar yang dilaporkan oleh PT Tirto Alam Cindo (PT TAC).
Kronologi Kasus
Kasus ini bermula pada 27 Maret 2017, ketika PT TAC menandatangani perjanjian kerja sama dengan PT Anugrah Pratama Inspirasi (PT API) yang dimiliki Agusrin. Dalam perjanjian tersebut, PT API memberikan kuasa kepada PT TAC untuk menggunakan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) milik PT API.
Kerja sama itu kemudian ditingkatkan dengan pembentukan perusahaan patungan PT Citra Karya Inspirasi (PT CKI) pada 18 April 2017. Komposisi sahamnya, PT TAC menguasai 52,5 persen, sedangkan PT API 47,5 persen.
Namun, setelah dua tahun berjalan, muncul berbagai persoalan internal di PT CKI yang bergerak di bidang pengolahan kayu.
“Klien kami kemudian melakukan pertemuan dengan Agusrin untuk mencari solusi,” kata Imam Nugroho, SH., ST, kuasa hukum PT TAC dari Kantor Hukum Davin Pramasdita, S.H., M.H. & Partners, Kamis (4/12/2025).
Kesepakatan Jual Saham Berujung Masalah
Pada 7 Mei 2019, atas instruksi Agusrin, dibuat surat penawaran pelepasan saham PT TAC kepada PT API dengan nilai awal Rp69,259 miliar. Gagasan pelepasan saham muncul karena PT API berencana menjual izin HPH kepada pihak ketiga.
PT API sempat menawarkan agar PT TAC membeli izin HPH tersebut, namun ditolak karena nilai appraisal dinilai tidak terjangkau. Agusrin kemudian menyatakan akan membeli seluruh saham PT TAC di PT CKI.
Setelah beberapa kali pertemuan, harga jual saham disepakati sebesar Rp33,3 miliar pada 20 Juni 2019. Kesepakatan itu kemudian dituangkan dalam sejumlah perjanjian, termasuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan perjanjian pembayaran.
Untuk meyakinkan transaksi, pihak Agusrin melakukan pembayaran awal sebesar Rp7,2 miliar dan menyerahkan dua lembar cek BNI senilai Rp10,5 miliar dan Rp20 miliar.
Namun, saat cek tersebut dicairkan, dananya kosong. Total kerugian yang dialami PT TAC mencapai Rp25,8 miliar.
Laporan Polisi dan Penetapan Tersangka
Merasa dirugikan, Direktur Utama PT TAC Ang Lau Shuk Yee alias Tiana melaporkan Agusrin dan Raden Saleh ke Polda Metro Jaya pada 17 Maret 2020.
Penyidik kemudian menetapkan keduanya sebagai tersangka atas dugaan pelanggaran Pasal 378 dan 372 KUHP serta UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Penetapan tersebut tertuang dalam surat penyidik tertanggal 30 September 2021.
Pada 14 Mei 2025, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menyatakan berkas perkara lengkap (P-21) dan meminta pelimpahan tanggung jawab tersangka serta barang bukti.
Resmi Masuk DPO
Karena tidak diketahui keberadaannya dan berkali-kali mangkir dari panggilan penyidik, Polda Metro Jaya akhirnya menerbitkan status DPO terhadap keduanya pada 14 Oktober 2025.
Surat DPO terhadap Agusrin bernomor DPO/130/X/RES.2.1/2025/Ditreskrimsus, sedangkan atas nama Raden Saleh bernomor DPO/131/X/RES.2.1/2025/Ditreskrimsus. Surat tersebut ditandatangani Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya kala itu, Brigjen Pol Ade Safri Simanjuntak.
Polda Metro Jaya: DPO karena Tahap II
Kabidhumas Polda Metro Jaya Kombes Pol Budi Hermanto membenarkan penetapan DPO tersebut.
“Benar, sudah diterbitkan DPO karena berkas perkara sudah P-21 dan siap tahap II pelimpahan tersangka dan barang bukti,” ujar Budi Hermanto, Kamis (4/12/2025).
Ia menegaskan, kedua tersangka telah beberapa kali dipanggil namun tidak memenuhi panggilan penyidik.
“Sampai saat ini, tersangka tidak hadir saat dipanggil,” pungkasnya.