Kontroversi Pasal 8 Ayat 5 UU Kejaksaan: Ancaman Fairness dan Independensi

Diskusi publik mengkritik Pasal 8 Ayat 5 UU Kejaksaan yang mengharuskan izin Jaksa Agung untuk proses hukum terhadap jaksa. Ketentuan ini dinilai mengancam fairness dan independensi hukum.

0 276

 

JAKARTA, Lenzanasional – Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan kembali menuai kritik tajam, terutama terhadap Pasal 8 Ayat 5 yang mengatur bahwa proses hukum terhadap jaksa memerlukan izin dari Jaksa Agung. Ketentuan ini dianggap dapat mengancam prinsip keadilan, independensi hukum, dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Kritik ini disampaikan dalam diskusi publik bertajuk “UU Kejaksaan antara Kewenangan dan Keadilan Masyarakat” yang diselenggarakan Forum Kajian Demokrasi Kita (FOKAD) di Jakarta Selatan, Kamis (23/1).

Eks Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang menilai bahwa ketentuan tersebut menciptakan ketidakpastian hukum yang tinggi.

Diskusi publik UU Kejaksaan membahas Pasal 8 Ayat 5 yang dinilai memicu konflik kepentingan dan mengancam keadilan.

“Prinsipnya, kita berada di tempat ketidakpastian yang cukup tinggi, adanya konflik kepentingan dan fairness. Bagaimana bisa menjabarkan hal ini terkait penegakan hukum dan antikorupsi,” ujar Saut.

Ia menambahkan, meski pasal itu bertujuan melindungi jaksa yang menangani kasus besar, perlindungan seharusnya tidak harus melalui campur tangan Jaksa Agung.

“Kami paham jika pasal itu digunakan untuk melindungi jaksa-jaksa keren yang akan mengungkap korupsi besar. Namun, tanpa Jaksa Agung pun, mereka tetap bisa dilindungi, misalnya oleh civil society,” jelasnya.

Mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu turut menyuarakan kekhawatirannya. Menurutnya, Pasal 8 Ayat 5 perlu diatur lebih rinci agar tidak disalahgunakan.

“Seharusnya, frasa melaksanakan tugas dan kewenangan dijelaskan secara definitif. Selain itu, jika dalam 1×24 jam Jaksa Agung tidak memberi izin, izin itu harus dianggap otomatis diberikan,” tegas Edwin.

Ia juga mengkritik kemunduran kualitas hukum akibat penerapan aturan ini. Edwin mengingatkan, aturan serupa sebelumnya pernah diberlakukan di DPR, tetapi akhirnya dihapus karena dinilai tidak relevan.

“Ini menunjukkan upaya menebalkan imunitas jaksa, bahkan sudah dilegalisasi melalui undang-undang,” ujarnya.

Ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar turut mempertanyakan urgensi ketentuan perizinan ini. Ia menyebut bahwa saat jaksa menangani perkara, mereka sudah memiliki kewenangan penuh yang tidak perlu lagi diatur melalui izin atasan.

“Ketika jaksa menangani perkara, itu sudah menjadi kewenangan penuh, sehingga tidak perlu lagi perizinan dari atasan,” ungkap Fickar.

Fickar juga menyoroti potensi intervensi yang justru terpusat di tangan Jaksa Agung. Semangat awal UU Kejaksaan untuk mencegah intervensi pihak luar dinilai malah berbalik arah dengan memberlakukan aturan ini.

“Tetapi ini justru makin memusatkan intervensinya di Jaksa Agung,” imbuhnya.

Kontroversi Pasal 8 Ayat 5 UU Kejaksaan menyoroti perlunya revisi atau pengaturan lebih rinci untuk menghindari potensi penyalahgunaan kewenangan. Para pengamat menilai, perlindungan terhadap jaksa tetap penting, tetapi tidak dengan cara yang justru menimbulkan konflik kepentingan.

Ketentuan ini harus didesain ulang agar dapat menjamin keadilan dan independensi hukum tanpa menebalkan imunitas yang tidak diperlukan.(**)

Comments
Loading...

This site is protected by wp-copyrightpro.com